
Menguji Nyali di Panggung Global, Ini Pengalaman Mahasiswa UMN Wakili RI di Global Investigative Journalism Conference 2025
Desember 12, 2025
FIKOM UMN Perkuat Kolaborasi Internasional melalui Program Visiting Professor bersama Prof. Jude W.R. Genilo, PhD
Desember 13, 2025
Kuliah tamu bersama Jude yang dilaksanakan secara darin (Dok. UMN)
Tangerang, (10/12/2025) – Universitas Multimedia Nusantara mengadakan sharing session bertajuk “Fighting ‘Fake News’ and ‘Deepfake’: How Different Countries Teach Media Literacy” bersama University of Liberal Arts Bangladesh dan Universiti Sains Malaysia. Sharing session dinarasumberi oleh F. X. Lilik Dwi Mardjianto, Ph.D.; Prof. Dr Jamilah Hj Ahmad, APR, FIPR; dan Prof Dr. Jude William R. Genilo.
Dalam sharing session ini, F. X. Lilik Dwi Mardjianto dari Universitas Multimedia Nusantara, Prof Dr. Jude William R. Genilo dari University of Liberal Arts Bangladesh, dan Prof. Dr Jamilah Hj Ahmad, APR, FIPR dari Universiti Sains Malaysia membahas tentang betapa mengancamnya berita palsu dan deepfake saat ini, khususnya di lingkup pendidikan. Para narasumber membagikan perspektif mereka berdasarkan kondisi negaranya masing-masing–Indonesia, Malaysia, dan Bangladesh.
“Kita benar-benar tidak boleh menyepelekan urgensi untuk menangani fake news dan deepfake di zaman modern ini. Kita perlu menemukan metode yang tepat untuk mengurangi penyebarannya. Oleh karena itu, kami ingin mengetahui pendekatan masing-masing negara terkait dengan masalah ini,” ucap Asep Sutresna, MA, yang membuka sesi berbagi sebagai moderator.
Dr. Jude, sebagai seorang profesional yang telah berkarier di bidang pendidikan di Bangladesh selama tujuh belas tahun, mengatakan bahwa tidak banyak perbedaan di Bangladesh dengan negara-negara lain dalam konteks memerangi berita palsu dan deepfake. Meski begitu, sukar untuk menentukan siapa yang harus memutuskan hal apa saja yang dapat dianggap sebagai ancaman.
“Penentuan apa yang dianggap sebagai pelanggaran pada dasarnya kompleks dan multifaset. Tidak ada satu pun entitas tunggal atau bahkan standar yang universal untuk menentukan hal ini, sehingga akhirnya menciptakan tantangan tersendiri dalam penyeimbangan konten. Platform-platform media sosial sendiri pun mengembangkan kebijakan dan value mereka masing-masing untuk memutuskan konten apa yang mereka anggap mengancam. Namun, tantangan tersebut menjadi lebih sulit ketika harus mempertimbangkan budaya—apa yang mungkin dianggap berbahaya dalam satu konteks budaya mungkin dapat diterima di konteks budaya lain,” kata Dr. Jude.
Dr. Jude juga menambahkan bahwa content takedowns yang dianggap berbahaya memang menimbulkan kontradiksi dengan prinsip-prinsip kebebasan berbicara. Sistem penyeimbangan konten yang cenderung mengandalkan takedown tanpa meninjau dahulu akan menciptakan apa yang disebut ‘remove first, review later‘, yang mana dapat menekan kebebasan berbicara orang lain. Hal ini justru malah melimpahkan beban kepada pengguna untuk membuktikan bahwa konten mereka dapat diterima. Ini juga pada dasarnya dapat bertolak belakang dengan prinsip ‘innocent until proven guilty‘. Kekhawatiran ini diperparah karena sistem dan algoritma yang digunakan untuk content takedowns secara massal seringkali kurang memahami konteks secara mendalam.
“Penyeimbangan konten ini juga perlu mempertimbangkan konteks dan intensi pengguna. Alih-alih hanya menghapus konten, platform dapat menggunakan pendekatan seperti membatasi visibilitas konten yang bermasalah daripada hanya takedown semata,” tambah Dr. Jude.
Selanjutnya, Dr. Jamilah menjelaskan bahwa Malaysia juga menghadapi tantangan yang terus meningkat terkait fake news dan deepfake. Pada Januari 2025, MCMC telah menghapus 32.436 konten terkait penipuan secara online serta melaporkan puluhan ribu takedown atas konten palsu ataupun yang dihasilkan oleh AI. Catatan dari pemerintah turut menunjukkan peningkatan yang dramatis, di mana MCMC telah meminta 16.110 takedown atas berita palsu pada 1 Agustus 2025; dibandingkan dengan 5.367 kasus pada tahun 2023 dan 17.245 pada tahun 2024.
“Upaya Malaysia untuk mengelola konten secara online dan cybersecurity dipimpin oleh beberapa badan utama. Di antaranya Malaysian Communications and Multimedia Commission (MCMC) yang mengatur online content, menangani request untuk takedown, dan mempromosikan awareness. Lalu, Kementerian Komunikasi dan Digital (KKD) bertugas dalam menetapkan arah kebijakan melawan misinformasi dengan menggunakan forensik digital dan AI atau Machine Learning (ML) untuk mendeteksi deepfake. National Cyber Security Agency (NACSA), di bawah Undang-Undang Cybersecurity 2024, memperkuat pertahanan cyber nasional, mengoordinasikan respons terhadap cybercrime, dan melindungi infrastruktur vital. Tindakan-tindakan ini didasarkan pada Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998, khususnya Pasal 233, yang mengatur penyalahgunaan fasilitas jaringan untuk konten berbahaya atau palsu,” jelas Dr. Jamilah mengenai peran masing-masing badan utama.
Berikutnya, Lilik membagikan bahwa di Indonesia, kita terlalu berfokus pada literasi informasi daripada literasi media. Literasi informasi berfokus pada kemampuan untuk mengidentifikasi kebutuhan informasi, menemukan sumber informasi, mengevaluasi kredibilitas dan kehandalannya, dan menggunakan informasi secara efektif untuk memecahkan masalah. Sementara literasi media, sebaliknya, berfokus pada pemahaman, analisis, dan evaluasi pesan dan konten media di berbagai format termasuk teks, gambar, audio, dan video.
“Fokus Indonesia pada literasi informasi daripada literasi media tampaknya berasal dari keterampilan untuk memerangi misinformasi. Kekhawatiran yang diangkat oleh para sarjana Indonesia utamanya berfokus pada literasi informasi. Kendati demikian, literasi media secara lebih luas, juga meliputi siapa yang memproduksi konten, apa motifnya, dan seberapa kuat bukti yang mendukungnya. Oleh karena itu, para peneliti di universitas-universitas Indonesia telah menekankan juga bahwa literasi informasi harus berjalan seiring dengan keterampilan berpikir kritis yang mendorong peserta didik untuk terus mempertanyakan informasi, yang mana hal itu bisa didapatkan melalui literasi media,” kata Lilik.
Lilik juga berharap, dengan menekankan kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara etis di semua konteks, Indonesia akan mampu mengatasi kekhawatiran dan tantangan yang lebih besar dalam menavigasi ekosistem digital yang kaya informasi.
Selanjutnya, Asep mengambil alih acara setelah ketiga pembicara selesai membagikan perspektif mereka dan menyimpulkan materi. Sharing session pun diakhiri dengan forum tanya jawab, di mana para peserta menunjukkan antusiasme mereka. Hal ini bagi para pembicara sangat patut dihargai.
By Tangika Valencia | UMN News Service
Kuliah di Jakarta untuk jurusan program studi Informatika| Sistem Informasi | Teknik Komputer | Teknik Elektro | Teknik Fisika | Akuntansi | Manajemen| Komunikasi Strategis | Jurnalistik | Desain Komunikasi Visual | Film dan Animasi | Arsitektur | D3 Perhotelan , di Universitas Multimedia Nusantara.



