
Tanda Tangan Elektronik vs Tersertifikasi: Mana yang Tepat?
September 16, 2025
Kuliah Tamu Bersama Prof. Dr. Surendra. N. Rahamarkar Bahas Inovasi AI Untuk Keberlanjutan
September 18, 2025
Kuliah Tamu PPAr yang diselenggarakan secara daring (Dok. UMN)
Tangerang – Pada Senin (15/09/2025) Program Studi Pendidikan Arsitektur Universitas Multimedia Nusantara menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Ruang Hidup Kolektif, Solidaritas yang Menubuh”. Kuliah umum ini dibawakan oleh Marsen Sinaga, salah satu inisiator dari Samadya Co-Housing.
Marsen Sinaga merupakan seorang konsultan sekaligus peneliti yang berkiprah dari Yogyakarta. Dengan pengalaman lebih dari 15 tahun, beliau banyak terlibat dalam berbagai bidang, khususnya pengembangan program, penguatan kelembagaan, serta isu-isu pembangunan sosial dan ekonomi secara lebih luas.
Selain kiprahnya di dunia penelitian dan konsultasi, Marsen juga dikenal sebagai salah satu penggagas Samadya Co-housing, sebuah inisiatif hunian bersama yang mengutamakan prinsip kebersamaan dan swasembada. Dalam peran tersebut, beliau turut memperkenalkan serta mengembangkan sistem pembiayaan berbasis koperasi melalui Credit Union, sehingga masyarakat memiliki akses alternatif untuk mengelola kebutuhan terkait hunian dan pembangunan internalnya.
Di Samadya Co-housing, setiap orang secara kolektif merencanakan, membiayai, membangun, serta mengelola hunian mereka. Di mana ini tidak hanya mencakup unit rumah pribadi saja, tetapi juga fasilitas bersama seperti ruang makan; ruang serbaguna; hingga area terbuka hijau. Karena hal itulah, Marsen lebih cenderung menyebutnya ‘co-living’.
“Saya lebih suka menyebutnya co-living daripada co-housing. Karena bagi kami di komunitas, penghayatannya tentang memberi kesan kebersamaan dalam ruang hidup kolektif, bukan hanya tentang rumahnya.” ucap Marsen sebelum memulai presentasinya.
Marsen memulai presentasinya dengan menjabarkan pain points yang menjadi landasan berdirinya Samadya Co-housing. Pain points tersebut di antaranya perasaan kesepian, kecewa atau tidak puas, kelelahan dan kehilangan harapan.
“Titik berangkatnya dari permasalahan bersama yang saya sebut perselingkuhan atau perjanjian jahat antara negara dan kapitalisme. Pertama-tama, biaya-biaya hidup itu makin mahal dan itu menimbulkan keadaan tertentu dalam hidup kita. Lalu kemudian sebagian besar orang menjadi merasa sendirian, kesepian, dan juga tidak pernah merasa cukup yang pada akhirnya membuat mereka lebih rentan, namun mereka juga tidak berani mengimajinasikan atau membayangkan sebuah kehidupan yang berbeda dari yang mereka hidupi sehari-hari–yang seakan telah ditawarkan atau disediakan oleh sistem yang ada. Selanjutnya, beberapa orang mengatakan bahwa mereka selalu merasa ada yang kurang tapi nggak tahu persis apa, dan ajaibnya sistem kapitalisme ini seperti menyediakan ruang untuk menyalurkan itu sehingga sudah banyak contoh orang yang mencurahkan perasaannya ke media sosial. Dan yang terakhir, sebagian orang mengalami kelelahan baik fisik maupun mental sampai pada kehilangan harapan, ini bahkan sampai difasilitasi oleh kapitalisme itu sendiri yang kedengarannya positif padahal tidak,” jelas Marsen.
Secara ringkas, pain points dari dibentuknya Samadya Co-housing adalah buah dari kapitalisme–negara. Marsen juga menambahkan, kapitalisme tersebut memang sengaja didesain supaya orang-orang mempertahankan perasaan tidak punya harapan mereka sehingga tidak dapat membayangkan apapun mengenai masa depan. Selain itu, kapitalisme juga ditujukan untuk mengarahkan atau mendikte orang-orang supaya tunduk dengan pasar kapitalisme.
Kapitalisme menurut Marsen juga bertentangan dengan hakikat manusia karena berujung pada ketidakpercayaan orang-orang pada satu sama lain. Padahal pada hakikatnya, manusia saling ketergantungan.
“Kerinduan untuk bersama orang lain itu tetap ada dalam diri setiap orang karena itu hakikatnya manusia sebagai makhluk sosial; makhluk kodependensi. Maka diharapkan, teman-teman juga mulai berani untuk membayangkan hidup yang kolektif,” ujar Marsen.
Lebih lanjut, Marsen memaparkan bahwa kapitalisme menimbulkan kesenjangan dari segi ekonomi. Perbedaan finansial antara masyarakat yang berkecukupan dan yang tidak menjadi jauh. Maka dari itu, Marsen juga memprakarsai koperasi simpan pinjam Credit Union dalam Samadya Co-housing sebagai solusi pembiayaan.
“Prinsip CU (Credit Union) itu sebenarnya bermaksud membantu anggotanya untuk membangun aset finansial mereka dan juga membangun kebiasaan menabung. Tetapi kalau mau pakai uangnya sewaktu-waktu juga bisa. Kalau di bank, teman-teman punya tabungan sepuluh juta lalu mau meminjam sepuluh juta juga, itu tidak bisa; sedangkan di CU bisa. Namun Credit Union juga menyediakan pendidikan dasar dimana sesi pertamanya bertujuan untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan.” ucap Marsen.
Marsen juga mengatakan, masyarakat di Samadya Co-housing juga turut bahu-membahu dalam membantu satu sama lain. Hal ini menjadikan koperasi simpan pinjam Credit Union semakin efektif dan efisien.
“Pernah ada keluarga kurang mampu yang kami bantu perbaiki selokannya, dan itu dibantu juga oleh tetangga-tetangga yang secara ekonomi lebih mampu. Kemudian juga terkait masalah sumur dan tembikar, tiga belas keluarga secara sukarela menyumbang. Ada yang lima puluh ribu, ada yang lima ratus ribu. Ada yang enam ratus ribu, ada yang enam juta. Yang menyumbang lebih kecil itu tidak kita anggap parasit, kita tahu bukan karena mereka bukan tidak mau, tetapi karena memang mampunya segitu. Begitupun yang menyumbang lebih besar, tidak kita puji-puji berlebihan. Tidak memungkiri, awal-awal memang terasa berat,” ucap Marsen.
Namun, terdapat sebuah concern yang muncul terkait co-housing, yakni terkait privasi. Marsen menanggapi bahwasanya meski Samadya Co-housing adalah sebuah hunian atau ruang hidup kolektif, di sana tetap tersisa ruang untuk itu. Sehingga setiap orang tetap memiliki personal space.
“Jadi kalau butuh privasi, memang sungguh difasilitasi gitu. Meskipun menantang gagasan mengenai hal tersebut. Namun, mengingat dunia yang semakin membuat merasa teralienasi seolah-olah sesama adalah ancaman, sangat manusiawi bila orang membutuhkan safe zone buat diri sendiri. Bahkan anak usia enam tahun pun sudah membutuhkan hal itu,” jawab Marsen.
Marsen menambahkan, kembali lagi, perasaan terancam oleh sesama yang dirasakan orang-orang adalah dampak dari kapitalisme. Kapitalisme seakan-akan berperan dalam media framing sehingga apa yang diterima masyarakat berbeda.
“Karena kalau kita berkaca pada tahun 70-an, itu dinding rumah-rumahnya masih saling berbagi. Bahkan ada komunitas di Yunani bernama Bangjam, di mana satu kampung menerapkan ruang hidup kolektif. Namun, media-media jadi tidak menyoroti hal tersebut,” tambah Marsen.
Maka dari itu, dalam konteks arsitektur, Marsen menyampaikan sebagai penutup bahwa perlu dibangun model kerja sama baru yang lebih partisipatif, di mana klien juga terlibat dalam proses, bukan hanya menerima hasil akhir. Selain itu, terdapat juga alternatif seperti time currency dan solidarity economy yang mengedepankan nilai kebersamaan, bukan sekadar keuntungan finansial. Karena selama ini, hubungan antara arsitek dan klien seringkali bersifat transaksional dan terbatas pada pola desain yang sudah ada.
“Makanya dari segi desain, saya sangat mengapresiasi kalau teman-teman bisa menemukan desain tertentu yang memang tidak fix atau bisa dimodifikasi. Tentu saja memang tidak mudah untuk bentuk bangunan yang vertikal. Tapi sebagai prinsip, hal itu barangkali bisa dipakai. Karena ruang mengubah manusia,” tutup Marsen.
By Tangika Valencia | UMN News Service
Kuliah di Jakarta untuk jurusan program studi Informatika| Sistem Informasi | Teknik Komputer | Teknik Elektro | Teknik Fisika | Akuntansi | Manajemen| Komunikasi Strategis | Jurnalistik | Desain Komunikasi Visual | Film dan Animasi | Arsitektur | D3 Perhotelan , di Universitas Multimedia Nusantara.